Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dapat menjadi salah satu energi alternatif di Indonesia. namun pengembangannya jauh dari harapan. Berdasarkan data Institute for Essential Service Reform (IESR), kapasitas terpasang PLTS di Indonesia baru sekitar 100 Mega Watt (MW) sangat jauh dari potensi yang ada mencapai 500 Giga Watt (GW). Realisasi tersebut juga sangat jauh dari target yang dicanangkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2019 sebesar 6,5 GW pada 2025. Untuk PT PLN (Persero) menargetkan pada 2028 hanya 2 GW. Apa yang menjadi faktor lambatnya perkembangan PLTS di Indonesia.
Contents
- 1 Murahnya harga batu bara untuk PLTU vs PLTS
- 2 Kelebihan Suplai Listrik untuk Sistem Kelistrikan Jawa-Bali
- 3 Keterbatasan Lahan
- 4 Terbatasnya Jaringan Listrik antar Pulau
- 5 Akses sulit untuk daerah terpencil
- 6 Tarif PLTS tidak menarik dan tidak bisa bersaing dengan tarif PLN
- 7 Perijinan Sistem On-Grid dengan Pembatasan Kapasitas
- 8 Mahalnya investasi Baterai
- 9 Pola konsumsi listrik
- 10 Modal Investasi, tingkat bunga, dan Pajak
- 11 Dukungan Pemerintah
- 12 Syarat TKDN untuk proyek PLTS Pemerintah
Murahnya harga batu bara untuk PLTU vs PLTS
Menurut laporan Climate Transparency Report 2022, 62% sumber energi Listrik di Indonesia berasal dari batu bara dan hanya 19% yang berasal dari energi terbarukan pada 2021. Hal ini wajar karena ketersediaanya batu bara di alam Indonesia dengan harga yang murah. Sehingga pemerintah (dan PLN) lebih suka menggunakan bahan baku yang lebih murah, selain itu PLTU yang menggunakan batu bara lebih efisien dari segi lahan dan pembangkitan dibandingkan dengan PLTS yang membutuhkan lahan yang luas. Selain itu PLTU dapat menyediakan spinning reserve yang lebih baik dibandingkan PLTS yang dapat mempermudah sistem kelistrikan dalam melakukan manuver apabila terjadi gangguan. Selain itu keterbatasan PLTS yang hanya bisa beroperasi pada siang hari atau saat ada matahari atau cuaca cerah, sehingga terdapat intermitensi pada PLTS yang dapat berakibat pada sistem.
Kelebihan Suplai Listrik untuk Sistem Kelistrikan Jawa-Bali
Seperti diketahui bahwa Rakyat Indonesia terbanyak saat ini mendiami pulau Jawa, Madura, dan Bali sehingga titik beban listrik terbanyak di Indonesia berada di Pulau Jawa, Madura dan Bali, sehingga pemerintah terus meningkatkan penyediaan Listrik di Jawa-Bali salah satunya dengan menggunakan pembangkit Listrik yang murah, mudah, dan tidak membutuhkan lahan yang banyak salah satunya menggunakan PLTU. Hal ini mengakibatkan kelebihan suplai Listrik di sistem kelistrikan Jawa-Bali, sehingga penetrasi PLTS pada sistem kelistrikan akan menganggu sistem kelistrikan dan paling penting akan memangkas jumlah pelanggan yang membutuhkan Listrik dari PLN, padahal suplai Listrik di Jawa Bali sangat melimpah sehingga PLN dituntut untuk dapat menambah terus pelanggan di Jawa-Bali agar semua suplai kelistrikan dapat terserap oleh pelanggan.
Keterbatasan Lahan
Keterbatasan lahan yang ada juga menjadi faktor sulitnya PLTS berkembang di Indonesia, karena saat ini titik titik beban di Indonesia kebanyakan adalah di Pulau Jawa sedangkan ketersediaan lahan di pulau jawa sangat sulit untuk membangun PLTS dengan skala yang besar.
Terbatasnya Jaringan Listrik antar Pulau
Jika lahan di luar Jawa masih banyak yang kosong dan bisa dipasangi PLTS, namun titik beban atau pelanggan banyak terdapat di pulau jawa sehingga membutuhkan saluran listrik atau jaringan listrik dari sumber listrik misalnya di luar jawa ke pulau jawa, sedangkan saat ini jaringan transmisi listrik di Indonesia belum menghubungkan antar pulau-pulau besar di Indonesia, tercatat hanya pulau Jawa-Madura-Bali yang terhubung antar pulau sebagai satu kesatuan sistem kelistrikan, sehingga jika PLTS dibangun di luar jawa masih membutuhkan investasi yang mahal untuk membuat saluran yang menghubungkan sumber listrik dengan titik beban antar pulau.
Akses sulit untuk daerah terpencil
Pertanyaan lain, masih banyak daerah terpencil seperti kepulauan kecil-kecil di Indonesia yang belum terlistriki, mengapa tidak mereka saja menggunakan PLTS?. Akses yang sulit menjadi suatu tantangan tersendiri dalam investasi PLTS di pulau kecil, selain membutuhkan lahan luas (di pulau kecil), akses yang sulit juga membuat harga investasi PLTS di daerah terpencil menjadi lebih mahal dari seharusnya karena biaya transportasi.
Tarif PLTS tidak menarik dan tidak bisa bersaing dengan tarif PLN
Tarif listrik yang dikenakan di Indonesia tergolong sangat murah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Tarif listrik di Indonesia bukan murah karena teknologi yang lebih baik, tapi karena subsidi pemerintah yang gila-gilaan. Pada tahun 2021, misalnya, PLN menerima subsidi dan kompensasi listrik dari pemerintah dengan total nilai Rp74,39 triliun. Sementara, laba bersih PLN pada tahun 2021 hanya sekitar Rp14 triliun. Sangat wajar apabila UMKM jasa instalasi PLTS sulit berkembang, karena harganya tidak bisa bersaing dengan PLN. Bayangkan saja, jasa instalasi PLTS yang asetnya mungkin tidak sampai Rp1miliar, bermimpi bersaing dengan perusahaan yang menerima subsidi Rp74triliun setahun untuk mengurangi harga jual listriknya.
Perijinan Sistem On-Grid dengan Pembatasan Kapasitas
Terlepas dari tarif listrik PLN yang sangat murah, tetap saja investasi PLTS akan menguntungkan secara ekonomis jika dipasang secara ongrid, atau tersambung ke PLN. Sistem PLTS ongrid ini tidak membutuhkan baterai, dan kelebihan produksi listrik PLTS yang tidak terpakai bisa diekspor ke PLN untuk mengurangi tagihan listrik PLN. Faktanya PLN saat ini tidak mengijinkan adanya ekspor listrik ke jaringan PLN (zero export) apalagi membayar kelebihan listrik PLTS yang dihasilkan. Selain itu dengan kondisi PLN yang oversupply listrik, saat ini PLN mengambil kebijakan untuk membatasi kapasitas PLTS ongrid yang terpasang, yaitu sebesar 15% dari daya terpasang PLN. Selain itu perijinan pemasangan PLTS on-grid melalui PLN seperti dipersulit semakin besar instalasi PLTS ongrid, tentu semakin sedikit penjualan listrik oleh PLN.
Mahalnya investasi Baterai
Jika ingin terbebas dari aturan perijinan PLN, maka kita bisa memasang PLTS dengan baterai, selain bisa digunakan siang dan malam, juga bisa meminamilisir efek intermitensi PLTS. Namun mahalnya harga baterai saat ini masih menjadi kendala bagi masyarakat Indonesia. Harga baterai untuk PLTS saat ini masih relatif mahal dengan usia penggunaan yang sebentar, harga rata-rata baterai di kisaran USD 12-15 sen per kilowatt hour (kWh), selain itu rating penggunaan baterai yang terbatas setiap 5 tahun, seperti HP kita saja, 3 tahun kemampuan baterainya menurun. Untuk itu, setiap 3-5 tahun harus ada penambahan baterai agar kapasitasnya tetap sama.
Pola konsumsi listrik
Saat ini pola konsumsi listrik di Indonesia yaitu banyak konsumsi listrik terjadi di malam hari, berbeda dengan negara Uni Emirat Arab, PLTS di Uni emirat Arab bisa maju karena beban puncaknya terjadi di siang hari. Ini sesuai dengan sistem kerja PLTS yang bekerja optimal saat matahari terbit. Sementara di Indonesia kebalikannya, beban puncak terjadi di malam hari. Alhasil butuh baterai agar mampu menyimpan energi yang dihasilkan saat siang hari untuk dipakai di malam hari.
Modal Investasi, tingkat bunga, dan Pajak
Investasi terhadap PLTS yang mahal masih menjadi kendala bagi masyarakat di Indonesia, selain itu tingkat bunga pinjaman (interest rate) bagi investor untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara Arab. Bunga pinjaman di Indonesia masih sekitar 10-11% sementara di negara Arab bisa di bawah 2%, masalah perpajakan juga menjadi permasalahan, jika di negara Arab, investor tidak dibebankan pajak, di Indonesia, dikenai pajak penghasilan sekitar 25%
Dukungan Pemerintah
Dukungan pemerintah terhadap pengembangan sistem PLTS dinilai masih setengah hati, disatu sisi akan menggenjot perkembangan energi terbarukan di Indonesia, tapi di sisi lain, aturan yang dibuat belum sepenuhnya berpihak pada pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Syarat TKDN untuk proyek PLTS Pemerintah
Syarat TKDN bagi proyek proyek pemerintah di Indonesia dinilai memberatkan dan membuat harga investasi menjadi semakin mahal, hal ini karena terbatasnya industri pabrikan modul surya di Indonesia, hal ini pula yang harus di genjot oleh pemerintah, karena Indonesia sebenarnya memiliki sumber daya melimpah untuk bahan baku modul surya. Selama industri pabrikan modul surya belum berkembang, maka pemerintah seharusnya mengatur standar TKDN sesuai dengan kemampuan industri dalam negeri.
Itu tadi beberapa faktor yang dinilai memperlambat perkembangan PLTS di Indonesia dibandingkan dengan di negara lain.
dikutip dari berbagai sumber